Jemaat Ahmadiyah Kota Banjar Hadapi Ancaman Penutupan Tempat Ibadah: IPW Desak Pemerintah Hormati Hak Konstitusional
Koran Banjar- Menjelang diberlakukannya Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 10 Tahun 2011, situasi semakin memanas di Kota Banjar, Jawa Barat. Peraturan yang disebut-sebut akan membatasi aktivitas ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) itu mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk dari Indonesia Police Watch (IPW) dan Yayasan Satu Keadilan.
Sugeng Teguh Santoso, Ketua IPW sekaligus tokoh advokasi hak asasi manusia, menyampaikan bahwa Jemaat Ahmadiyah Kota Banjar sedang mempersiapkan langkah hukum untuk menghadapi potensi penutupan tempat ibadah mereka. Menurutnya, kebijakan pemerintah setempat tidak hanya tidak memiliki dasar hukum yang kuat, tetapi juga berpotensi melanggar hak dasar warga negara untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya.
“Apa yang Mau Ditutup? Rumah Ibadahnya Saja Sudah Tak Ada”
Dalam pernyataan kepada media pada Senin (9/6/2025), Sugeng menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kondisi yang dihadapi JAI. Ia bahkan menyebut situasi ini sebagai bentuk pelanggaran prinsip toleransi yang seharusnya dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.
“Terus terang, ini membuat saya miris. Rumah ibadahnya saja sudah tidak ada, jadi apa yang sebenarnya ingin ditutup oleh pemerintah?” tegas Sugeng.
Menurutnya, langkah-langkah administratif yang diambil Pemkot Banjar seakan menambah tekanan terhadap kelompok minoritas agama, bukan menciptakan solusi yang adil dan inklusif.
Baca Juga : Aksi Buruh Banjar Menggema, Aktivis Desak DPRD Segera Sahkan Perda Ketenagakerjaan
Bertentangan dengan SKB Tiga Menteri
Sugeng menyoroti keberadaan Pergub Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 sebagai akar masalah. Peraturan gubernur itu dianggap bertentangan langsung dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang dikeluarkan pada tahun 2008. Dalam SKB tersebut, negara tidak melarang Jemaat Ahmadiyah untuk beribadah, melainkan hanya mengatur agar aktivitas dakwah mereka tidak menyasar pihak di luar komunitas.
“Pergub ini melarang seluruh aktivitas Ahmadiyah karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam mainstream. Padahal SKB tidak pernah melarang ibadah. Ini kekeliruan interpretasi yang kemudian dijadikan dasar untuk tindakan-tindakan eksklusif,” ujar Sugeng.
Ia menyebut bahwa hukum tidak boleh dimaknai secara sempit oleh pemerintah daerah, apalagi hingga menimbulkan diskriminasi yang berdampak pada hak dasar warganya.
Hak Atas Perlindungan dan Ibadah
Lebih lanjut, Sugeng menekankan bahwa setiap warga negara berhak mendapat perlindungan hukum dari persekusi, intimidasi, dan tindakan kekerasan apa pun bentuknya. Termasuk di dalamnya adalah hak untuk menjalankan ibadah secara aman dan damai, tanpa rasa takut atau tekanan.
“Pemerintah seharusnya menjadi pelindung semua warga, bukan hanya yang seagama atau mayoritas. Jemaat Ahmadiyah itu warga negara Indonesia. Mereka punya KTP, mereka bayar pajak, mereka bagian dari bangsa ini. Lalu mengapa hak ibadah mereka justru ingin dicabut oleh negara?” katanya penuh kritik.
Seruan kepada Wali Kota Banjar
Dalam kesempatan yang sama, Sugeng juga menyampaikan pesan langsung kepada Wali Kota Banjar, Sudarsono. Ia berharap agar sang kepala daerah bisa mengambil keputusan yang berpihak pada konstitusi dan nilai-nilai kemanusiaan.
“Saya tahu Pak Wali pernah kuliah di Universitas Katolik Parahyangan. Saya yakin di sana diajarkan nilai-nilai toleransi dan keadilan sosial. Saat ini adalah momen penting untuk membuktikan bahwa pendidikan itu membentuk karakter kepemimpinan yang berpihak pada kemanusiaan,” katanya.
Sugeng tidak hanya berbicara soal regulasi, tetapi juga menekankan pentingnya empati dan keberanian moral dalam memimpin. Ia menyebut bahwa Pancasila, khususnya sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tidak seharusnya digunakan untuk menjustifikasi intoleransi. Justru sila itu harus menjadi pengingat bahwa Indonesia berdiri untuk semua keyakinan, semua agama, dan semua umat.
Dukungan Hukum dan Solidaritas
Yayasan Satu Keadilan saat ini telah menyiapkan tim advokasi hukum untuk mendampingi Jemaat Ahmadiyah Kota Banjar jika penutupan tempat ibadah tetap dilakukan. Sugeng menegaskan bahwa langkah hukum ini bukan hanya untuk membela satu kelompok, melainkan untuk menjaga integritas konstitusi dan nilai-nilai keadilan dalam demokrasi Indonesia.
“Kalau satu rumah ibadah ditutup karena berbeda keyakinan, itu bukan hanya persoalan Ahmadiyah. Itu tanda bahaya bagi seluruh umat beragama di negeri ini,” tutupnya.